Selasa, 17 September 2013

Mengenal Gaya Arsitektur (7): Rumah Tradisional Jepang (Minka)




 Rumah gaya Minka Gassho-zukuri di Desa Shirakawa, Gifu Prefecture


MINKA ”民家”, merupakan nama umum untuk rumah tradisional Jepang dan merupakan hunian untuk rakyat biasa. Rumah-rumah ini sudah ada sebelum akhir tahun 1800. Rumah-rumah ini dapat ditemukan di seluruh Jepang dengan gaya yang khas antar daerah.

Perbedaan gaya arsitektur Minka disetiap daerah  karena penyesuaian terhadap letak geografi /iklim setempat, dan keperluan industri. Misalnya, Minka di daerah Jepang bagian utara,  bangunannya dirancang untuk dapat beradaptasi terhadap musim dingin yang panjang dan hujan salju. Atap jerami dengan bubungan yang terjal memungkinkan udara di dalam ruangan cukup hangat. Bukaan berupa jendela kecil  hanya ada di bubungan tersebut untuk menghindari banyaknya  angin masuk kedalam rumah.  Disamping itu juga dirancang khusus untuk keperluan memelihara ulat sutra.

Sedangkan di daerah Jepang bagian selatan, terdiri dari sekelompok rumah-rumah yang relatif kecil, rendah dengan rumah panggung agar memperoleh ventilasi semaksimal mungkin dan mengurangi bahaya tiupan angin taifun. Rumah panggung ini dirancang untuk meredam gunjangan gempa.

Selain penyesuaian terhadap letak geografi, iklim dan gaya hidup, Minka dapat juga dibagi menjadi dua tipe, yaitu  rumah-rumah pertanian (nouka) dan rumah di perkotaan (machiya).

Rumah-Rumah Pertanian (nouka)

Pengaturan ruang di dalam rumah orang Jepang disebut dengan madori. Denah standar rumah para petani Jepang dari permulaan abad ke-19 terdiri dari empat ruang, di samping ruang utama yang memiliki perapian (doma). Pembagian ini disebut dengan yamadori (pengaturan empat ruang). Di dalam rumah jenis ini terdapat pintu kayu sorong besar yang disebut odo, untuk memasuki ruang utama. Pintu ini merupakan pintu utama untuk memasuki rumah petani.

Doma

Doma merupakan ruang utama pada nouka. Doma mengambil sepertiga dari luas denah rumah. Fungsi doma adalah tempat melakukan kegiatan pertanian dan memasak, sehingga tersedia oven tanah dan tempat mencuci yang terbuat dari kayu yang didirikan di belakang doma.
Selain itu juga terdapat perapian yang berukuran satu meter persegi. Di perapian ini kayu dibakar untuk memanaskan ruang, sekaligus sebagai penerangan. Seluruh anggota keluarga berkumpul di perapian ini, khususnya pada waktu makan.
Selain doma, empat ruang pada nouka ini adalah :
  • Dua ruangan yang terletak paling dekat dengan doma, digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan harian para penghuni rumah.
  • Ruang kecil bersifat dekoratif disebut dengan tokonoma. Ruangan ini menempel pada dinding ruang depan yang berfungsi sebagai tempat memamerkan lukisan atau bunga.
  • Ruang depan berfungsi sebagai tempat menerima tamu pada keadaan – keadaan formal. Ruang tamu ini disebut dengan zashiki atau dei. Di depan ruang tamu ini terdapat serambi panjang dan sempit yang disebut dengan engawa.
Rumah di Perkotaan (Machiya)

Terbatasnya luas tanah di daerah perkotaan membuat rumah-rumah yang didirikan di sana cenderung berbentuk empat persegi panjang.
  • Di belakang ruang utama (omoya) terletak ruang tempat menyimpan (kura/dozou) harta benda milik keluarga. Selain itu untuk menyimpan harta benda keluarga bisa juga digunakan zashiki, yang terletak terpisah dari ruangan utama. Untuk dapat memasuki ruangan ini, dibuatkan pintu pada ruang doma menuju ke pekarangan belakang.
  • Di sekitar ruang doma terdapat tiga baris ruang. Ruang yang paling dekat dengan jalan disebut dengan mise. Di sinilah barang-barang dagangan dipamerkan, dan transaksi perdagangan dilakukan. Ruang yang terletak di bagian tengah, dipergunakan sebagai kantor, dan juga tempat anggota keluarga menerima tamu. Ruang yang terletak di bagian paling belakang menghadap ke arah taman tertutup. Ruang ini dibuat menyerupai zashiki, lengkap dengan tokonoma, yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan harian dari anggota rumah tangga tersebut.
  • Adanya ruang di loteng yang disebut dengan zushi. Ruang ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dekat dengan jalan mempunyai langit-langit rendah berfungsi sebagai gudang. Bagian kedua adalah bagian belakang yang dipergunakan sebagai kamar tidur.

Sejarah Minka

Di zaman Jepang kuno, ada dua jenis rumah, yaitu rumah bawah tanah dan rumah panggung (pengaruh dari Asia Tenggara).

Pada periode Heian melalui  Periode pertengahan Edo (792 – 1750) ada tiga jenis gaya arsitektur perumahan yang berevolusi: shinden-zukuri, shoin-zukuri, dan sukiya-zukuri.


Shinden-zukuri 


Shinden-zukuri (寝殿 造) mengacu pada gaya arsitektur dalam negeri dikembangkan untuk rumah-rumah megah atau aristokrat dibangun di Heian-kyo (平安 京, Kyoto hari ini) pada periode Heian (794-1185), terutama di abad ke-10.

Shinden-zukuri berkembang menjadi shoin-zukuri dan Sukiya-zukuri (terlepas jenis arsitektur minum teh). Selama era Kamakura, berkembang menjadi Buke-zukuri (武 家 造 perumahan bagi keluarga militer).

Gaya shinden-zukuri pertama muncul pada periode Heian adalah tempat tinggal para bangsawan. gaya ini mencontoh dari ruang ibadah kuil Budha dari dinasti Tang struktur bisymme watrical. Lorong-lorong terhubung satu sama lain dengan lorong-lorong beratap. Interior gaya shinden juga seperti ruang ibadah yang terbuka kecuali untuk tiang bulat. Pusat ruang utama disebut Moya dan dikelilingi oleh dua set pilar. Ruang ini berisi byobu, tirai buluh, sudare dan tirai, kicho. lantai papan kayu. Ada sebuah ruangan kecil yang disebut nurigome digunakan untuk ruang tidur atau tempat penyimpanan. Gaya ini di gunakan oleh para bangsawan dan samurai peringkat tinggi melalui pertengahan abad 15. Gaya shinden-zukuri dapat dilihat pada lukisan Tale of Genji. Saat ini tidak ada contoh yang lebih tua dari gaya ini, hanya dapat ditemukan  versi abad ke-19 dari Istana Kekaisaran di Kyoto.

Shoin-zukuri


The karamon main gate to Ninomaru Palace
Shoin merupakan nama kepala biara tempat tinggal di sebuah kuil Zen. Shoin berarti perpustakaan atau belajar. Contoh tertua zukuri adalah ruang Dojinsai di Togudo di Ginkakuji (Silver Pavilion). Kamar kecil ini dibangun oleh Ashikaga Yoshimasa pada tahun 1486. Gaya shoin berevolusi dari gaya shinden selama 2 abad. Gaya shoin akhirnya menjadi besar dan pengaturan dimaksudkan untuk kebesaran dari para panglima perang feodal. Pemanfaatan pilar dipotong persegi (yang bertentangan dengan gaya putaran shinden) yang gunanya untuk meletakkan kusen dan lintels.  Hal ini, pada gilirannya, memperluas cara ruang interior dengan partisi yang disebutn shoji dan panel fusuma. Tatami digunakan untuk menutup seluruh luas lantai dan beberapa kamar lebih dari seratus tatami dalam berbagai ukuran. Sebuah contoh  gaya shoin adalah Hall Ninomaru dari Nijo Castle di Kyoto. Gaya shoin dewasa ini menggabungkan semua elemen. Elemen interior tradisional Jepang meliputi : shoji, fusuma, tatami sebagai meliputi lantai, tokomona, chigaidana, dan tsukeshoin.

Sukiya-zukuri

Sukiya-zukuri merupakan gaya arsitektur rumah terakhir. Sukiya-zukuri (数寄屋造り) adalah salah satu jenis gaya arsitektur hunian Jepang. Suki berarti halus, rasa menyenangkan dalam kegiatan elegan dan mengacu pada kenikmatan dan keindahan acara minum teh. Kata awalnya dilambangkan sebuah bangunan di mana upacara minum teh dilakukan dikenal sebagai Chashitsu dan dikaitkan dengan ikebana merangkai bunga dan seni tradisional Jepang lainnya. Ia telah hadir untuk menunjukkan cara merancang fasilitas umum dan rumah-rumah pribadi berdasarkan "tea house aesthetics".

Villa Katsura Imperial Villa
di musim semi
Gaya sukiya yang berkembang dari periode Azuchi-Momoyama dan gaya shoin, sangat kontras langsung dan pengaturan yang luar biasa besar dari-shoin zukuri. Dalam sukiya, semakin kecil dan sederhana dianggap sebagai desain terbaik. Beberapa pondok teh terdiri dari enam tatami. Penggabungan dari sukiya dengan shoin dikembangkan menjadi sukiya-zukuri. Gaya ini menjadi gaya yang populer bagi warga kota yang tinggal di pertengahan hingga akhir zaman Edo (1750 -1867). Hal ini juga gaya yang telah berkontribusi pada ruang kehidupan Jepang. Contoh klasik sukiya-zukuri adalah Katsura Imperial Villa  dibangun pada pertengahan 1600-an.

Zaman Edo berlangsung sekitar tahun 1600–1868 ketika Jepang di bawah pemerintahan Sogun menutup pengaruh dan hubungannya dari dunia Barat. Keputusan itu tercermin pada pola perkembangan kota kecil di sepanjang jalur Nakasendo, salah satu di antaranya dapat dilihat di desa kuno Tsumago yang bangunan rumah tinggalnya tampak jelas didominasi corak arsitektur tradisional Jepang gaya Edo. Beberapa jalan kecil berupa gang juga sangat menarik diikuti karena dari jalan kecil tersebut kita dapat melihat taman gaya Jepang di area halaman belakang dan depan rumah. Taman yang dilengkapi kolam batu alam dilengkapi bonsai, pancuran air dari bambu, dan kerajinan bambu lain menambah daya tarik kawasan ini.

Di antara jalan-jalan setapak, ada banyak rumah-rumah yang menampilkan eksterior taman gaya Jepang. Taman tidak hanya di depan rumah namun juga di belakang rumah. Taman-taman ini banyak dihias kolam batu alam beserta bonsai, pancuran air dari bambu, dan kerajinan bambu. Melangkah ke dalam, kita akan melihat bangunan utama yang terbuat dari kayu/papan. Bila kita lihat lebih jauh, rumah-rumah papan ini identik dengan kegiatan warga Jepang zaman Shogun yang bermata pencarian bertani, berdagang, dan bisnis jasa.

Atap rumah Jepang umumnya ditindih batu agar tidak terbang tertiup angin. Atap ini dilengkapi juga dengan talang air pada sisinya, yang berfungsi menyalurkan air ke tanah. Talang ini terbuat dari bambu yang menunjukkan kecerdikan dan pemikiran unsur teknis tukang bangunan masa Edo. Ruangan dengan lantai tanah, tatami, dan pondasi batu alam yang ditindih bangunan bahan kayu juga menjadi salah satu ciri khusus. Konstruksinya sederhana, dengan menerapkan prinsip “semakin sedikit, semakin baik”. Prinsip ini sudah banyak diserap dalam seni arsitektur modern.

Dinding-dinding rumah Jepang cenderung polos dengan garis-haris geometrik. Dinding dibangun tipis, nyaris tidak bermateri. Bahkan kertas pun masih dipakai untuk dinding-dinding ruangan. Tidak aman memang dan sangat dingin di musim salju, tetapi ini dibuat untuk membuat penghuninya tetap menyatu dengan alam. Dinding-dinding, lantai, dan langit-langit dibiarkan polos tanpa hiasan apapun. Satu-satunya hiasan hanyalah permainan garis-garis dan kotak-kotak lurus. Pada ruang utama tempat penerimaan tamu, dibuat panggung kecil yang berdinding mundur sebagai tempat beribadah. Bagian ini adalah  tempat untuk orientasi diri psikologis si pemilik rumah, yang disebut tokonoma. Ada beberapa lukisan pemandangan atau bunga, namun kadang-kadang lukisan diganti dengan pajangan seni kaligrafi yang indah, berisi syair atau puisi yang mengandug nilai kearifan atau pengetahuan budaya.

Denah rumah tradisional Jepang terbagi dalam ruang-ruang sederhana yaitu berbentuk kotak atau persegi. Kesederhanaan ini tercermin dalam desain minimalis, yang sekarang turut mempengaruhi Arsitektur Gaya Minimalis. Namun kenyataannya, budaya arsitektur yang tersohor itu sebenarnya sudah dikerjakan selama berabad-abad oleh para arsitek-arsitek zaman Shinto.

Perumahan terus berkembang di era Meiji (1868-1912),  beberapa rumah di kota  dibangun dengan gaya kura-zukuri, yang menampilkan eksterior Jepang yang  dibuat dari bahan tahan api, biasanya memiliki lorong panjang melalui tengah rumah dengan kamar di setiap sisi, dikatakan untuk menggabungkan budaya asing dengan gaya rumah disukai oleh samurai.



KARAKTERISTAIK ARSITEKTUR JEPANG 

Sistem konstruksi pada bangunan di Jepang dibuat ringan dan halus. Bangunan di Jepang berbentuk simetris dengan memakai slidding door pada pintu, penggunaa kertas pada dinding rumah menjadikan rumah tersebut terkesan ringan, ukuran ruang memakai tatami/shoku, atap dominan dengan bentuk lengkung yang bersifat
sederhana, kebanyakan pada rumah jepang tidak memakai cat melainkan bersifat alami.

Bahan Bangunan Minka

Bahan bangunan yang dipergunakan antara lain, balok kayu besar untuk tiang utama rumah dan rangka-rangka penting dari kerangka rumah. Kayu juga digunakan untuk dinding, lantai, langit-langit, dan bubungan atap. Kayu yang digunakan dalam Minka bisa bertahan 200 sampai 300 tahun dan sangat berharga sebagai produk bangunan karena dapat digunakan kembali dalam rumah-rumah lainnya.

Bambu digunakan untuk melapisi tempat-tempat kosong di antara dinding kayu dan setelah itu dilapisi dengan tanah liat untuk dijadikan dinding yang rata. Tanah liat juga dibakar menjadi genteng.

Rumput jenis tertentu dipergunakan sebagai atap, sedangkan jerami tanaman padi dipergunakan untuk dianyam menjadi tikar kasar yang disebut dengan Mushiro, dan tikar halus yang disebut dengan tatami, yang digelar di atas tikar kasar.
Batu-batu terbatas dipergunakan untuk fondasi rumah, tidak pernah digunakan sebagai dinding.

Tata Ruang

Genkan

Salah satu ciri rumah Jepang adalah genkan, atau pintu masuk. Ini merupakan area kecil, dengan level yang sama seperti di luar, di mana orang yang datang melepaskan sepatunya. Ketika mereka melepas sepatu, orang melangkah ke lantai  yang lebih tinggi 40-50 cm.  Berdekatan dengan lantai bawah ada rak atau lemari disebut getabako (kotak geta ) di mana orang akan menempatkan sepatu mereka. Sandal untuk penggunaan dalam ruangan biasanya ditempatkan di sana.



Washitsu

Washitsu adalah ruang beralaskan tatami dalam bangunan tradisional Jepang. Ada beberapa aliran dalam menyusun tatami sebagai alas lantai. Dari jumlah tatami yang dipakai dapat diketahui ukuran luas ruangan. Dari sejumlah washitsu yang ada di dalam bangunan (rumah) terdapat satu washitsu utama. Setiap ruangan bisa menjadi ruang tamu, ruang makan, belajar, atau kamar tidur. Hal ini dimungkinkan karena semua perabotan bersifat portabel, yang disimpan dalam oshiire (bagian kecil dari rumah yang digunakan untuk penyimpanan).

Fungsi washitsu berubah bergantung kepada alat rumah tangga yang dipakai. Washitsu berubah menjadi ruang belajar bila diletakkan meja. Washitsu menjadi ruang tidur bila diletakkan futon(matras tidur). Meja besar dikeluarkan bila washitsu ingin digunakan untuk jamuan makan.

fusuma

shoji













Ada dua macam benda yang dapat digunakan untuk memberikan sekat-sekat pada washitsu, yaitu fusuma dan shoji. Fusuma adalah panel berbentuk persegi panjang yang dipasang vertikal pada rel dari kayu, dapat dibuka atau ditutup dengan cara didorong atau digeser. Kegunaannya sebagai pintu dorong atau pembatas ruangan pada washitsu. Seperti halnya shoji, fusuma dipasang di antara rel kayu, rel bagian atas disebut kamoi dan rel bagian bawah disebut shikii. Rangka dibuat dari kayu dan kedua sisi permukaannya dilapis dengan washi, kain (serat alami atau serat sintetis), atau vinil. Bila kertas pelapis sudah rusak atau sekadar ingin berganti suasana, kertas lama bisa dilepas dan diganti dengan kertas baru. Kedua belah permukaan fusuma dipasangi hikite yang berfungsi seperti pegangan pintu sewaktu mendorong fusuma. Perbedaan antara fusuma dan shoji adalah fusuma tidak dapat ditembus cahaya sedangkan shoji dapat ditembus cahaya. Sandal rumah harus dilepas sebelum memasuki washitsu.

lantai Kamar dengan tatami dan Shōji
Lantai washitsu berupa tatami. Tatami adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional. Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak Tatami dibuat dari bahan sintetis, umumnya dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brokade atau kain hijau yang polos. Pada mulanya, Tatami adalah barang mewah yang dapat dimiliki orang kaya. Saat itu kebanyakan rumah orang miskin tidak memiliki lantai, melainkan tikar. Tatami kemudian menjadi populer diabad ke-17.



Washiki (Toilet)

Toilet di perumahan Jepang biasanya terletak jauh dari kamar mandi dan terpisah dari rumah induk. Namun, dalam kamar apartemen sering menggunakan toilet dan kamar mandi berada dalam satu unit. Toilet biasanya di ruang kecil, saat memasuki ruangan ini, salah satu tradisional menggantikan sandal rumah mereka dengan  sandal khusus, kemudian menukar kembali ketika keluar dari kamar mandi. Secara tradisional, toilet Jepang telah memiliki citra "haram" dan dengan demikian dipisahkan, tapi kemudian hari toilet lebih modern cenderung untuk menangkal tradisional citra "haram" tadi .


Toilet tradisional Jepang (washiki) adalah kloset jongkok juga dikenal sebagai kloset Asia. Kebanyakan kloset jongkok di Jepang terbuat dari porselen. Para pengguna toilet di Jepang kebalikan dari Indonesia dimana mereka menghadap ke dinding di belakang toilet pada gambar terlihat di sebelah kanan. Kloset jongkok dibagi menjadi dua jenis: kloset yang berada di permukaan lantai, dan kloset yang berada di bagian lantai yang ditinggikan sekitar 30 cm.

Daidokoro (dapur)

Dapur tradisional dengan sistem gantung
Dapur tradisional dengan sistem tungku
Ada dua jenis dapur di rumah tradisional Jepang, yang pertama dengan tungku dan yang kedua dengan cara digantung. Kedua cara ini sama-sama menggunakan kayu bakar.

Pada periode Jomon, dari 10.000 SM sampai 300 SM, orang berkumpul ke desa-desa, di mana mereka tinggal di tempat tinggal lubang dangkal. Ini gubuk sederhana adalah antara 10 sampai 30 meter persegi dan memiliki perapian di tengah. Kompor awal tidak lebih dari sebuah lubang dangkal (jikaro 地 床 炉), yang dikelilingi oleh batu untuk menangkap percikan api. kemudian mereka menggantikan dengan Vas tanah liat atau tungku. Jenis kompor disebut umigamero (埋 瓮 炉,. Lit "terkubur vas kompor"). Seperti kompor menjadi lebih aman, itu dipindahkan dari pusat rumah ke samping dan, oleh periode Kofun akhir (abad ke-6), hampir semua rumah memiliki kompor di salah satu ujung rumah. Beberapa keluarga kaya pada periode Kofun membangun sebuah rumah terpisah di mana memasak dilakukan.




Roka

Di pinggir rumah terdapat Roka, biasanya berlantai kayu, yang mirip dengan lorong-lorong.

Atap minka

Atap adalah fitur dominan dalam arsitektur tradisional Jepang. Atap rumah minka sering dibuat curam, dan biasanya terbuat dari ilalang (kayabuki yane), sirap (itabuki yane), atau genteng (kawarabuki yane).
Atap minka dapat dikelompokan menjadi 3 macam bentuk, yaitu :
  • Kirizuma, merupakan jenis atap yang paling sederhana yang berbentuk segi tiga (gabled roof). Jenis atap ini mempunyai dua sisi yang menurun dari balok bubungan utama (mune).
  • Yosumune, merupakan jenis atap yang mempunyai pinggang (hipped roofs). Atap jenis ini merupakan perkembangan dari kirizuma, karena pada kedua sisi sampingnya yang lain ditambah dengan atap miring, dan bubungannya tidak berbentuk lancip melainkan papak.
  • Irimoya, merupakan jenis atap berbentuk tiga segi, dengan atap tambahan yang berbentuk agak miring di sekitarnya, sehingga ruang dalam rumah menjadi luas. Pada rumah yang atapnya terbuat dari genteng keramik, genteng juga dipasang sampai ke ujung bubungan, dan untuk menghias puncak bubungan dipasang genteng yang ujungnya berbentuk kepala raksasa, yang disebut onigawara. Pada rumah yang beratap rumput juga dipasang hiasan pada kedua sudutnya yang disebut dengan munekazari.





Referensi :

  •  http://en.wikipedia.org/wiki/Housing_in_Japan
  • http://misakiyuuki.blogspot.com/2011/06/minka-rumah-tradisional-jepang.html

image : Wikipedia, google image


0 komentar:

Posting Komentar